KECERDASAN buatan atau Artificial Intelligence (AI) semakin berkembang di dunia kesehatan. Para peneliti di Indonesia pun kini terus mengembangkan berbagai teknologi kecerdasan buatan yang bermanfaat bagi masyarakat. Etika dianggap jadi kunci utama agar pengembangan dan penggunaan AI tidak keluar dari batas kewajaran.
Wakil Rektor UGM Bidang Perencanaan, Aset, dan Sistem Informasi, Arief Setiawan Budi Nugroho, menyatakan UGM memiliki komitmen kuat untuk menjadi aktor penting dalam memanfaatkan AI bagi kepentingan bangsa. Pihaknya terus mendorong penelitian dan pengembangannya, termasuk integrasinya dalam sektor kesehatan, pendidikan dan sektor lainnya.
“Salah satu inovasi UGM misalnya pemantauan kerusakan jalan tol menggunakan AI, yang mempercepat proses tanpa mengurangi keakuratan. Selain itu, teknologi tersebut juga dimanfaatkan untuk mendeteksi penyakit seperti tumor, malaria, dan penyakit mata, yang meningkatkan akses layanan kesehatan di wilayah terpencil,” ucapnya dalam Komdigi Menjangkau di UGM, dikutip Kamis (12/12/2024).
Hadir dalam acara tersebut, Menkomdigi Meutya Hafid menekankan pentingnya etika dan tanggung jawab dalam pengembangan AI. Maka Indonesia menjadi negara pertama yang mendorong AI etik, sejalan dengan panduan UNESCO.
“Etika dan kreativitas harus berjalan seiring. Teknologi memiliki batasan, dan etika adalah pengendali utama agar manfaatnya tetap optimal,” jelasnya.
Pemerintah telah mengeluarkan panduan etik dalam bentuk surat edaran. Mulai 2025, serial diskusi dengan para pemangku kepentingan akan digelar untuk meningkatkan regulasi agar lebih kuat dan inklusif.
“Kami tidak akan menghambat inovasi teknologi, tetapi mendorong penggunaannya untuk berbagai sektor seperti pendidikan, kesehatan, dan transportasi,” tegas Meutya.
Meutya menyatakan bahwa pendekatan bertahap akan menjadi strategi pemerintah dalam menghadapi perkembangan teknologi AI. “Biasanya, sesuatu untuk kemajuan perlu kita perbincangkan terlebih dahulu dengan para pihak. Setelah ada kesepahaman, barulah kita bisa mengambil manfaat sebesar-besarnya,” ujarnya.
Menurutnya, masyarakat harus memahami dan merasa nyaman terlebih dahulu dengan teknologi baru sebelum sepenuhnya mengadopsinya. Pemerintah sendiri memandang AI bukan sebagai ancaman, melainkan sebuah peluang besar sekaligus tantangan. Data menunjukkan bahwa AI akan menggantikan sekitar 85 juta pekerjaan pada 2025, tetapi di saat yang sama akan menciptakan 90 juta pekerjaan baru di bidang seperti pengembangan AI, data sains, dan kolaborasi manusia dengan AI.